Rabu, 18 Agustus 2010

Vaksin Haram

Jelang musim Haji 1430 H lalu, menjadi hari – hari sibuk bagi pemerintah. Tidak hanya karena kewajiban pemerintah yang harus mengurusi teknis pemberangkatan dua ratus ribuan jamaah, namun juga sibuk untuk menangkal isu mengenai ditemukannya zat haram dalam vaksin meningitis. LPPOM Majelis Ulama Islam Sumatera Selatan telah menyimpulkan bahwa Vaksin Meningitis mengandung enzim porchin dari babi.

Bahkan Direktur LPPOM MUI Nadratuzzaman, sebagaimana dikutip melalui Republika (28/04/2009), menyatakan bahwa ini masalah lama, kita tahu, Depertemen Kesehatan Ri juga tahu. Dan banyak vaksin yang mengandung enzim babi, bukan hanya vaksin meningitis saja.

Penggunaan Enzim Babi
Penggunaan Enzim babi yang menjadi bagian dari kontroversi seputar vaksin, ialah tripsin, yaitu yang dihasilkan oleh pankreas dan dikeluarkan ke dalam usus halus. Saat ini tripsin babi banyak digunakan karena kemiripan materi genetik (DNA) babi dengan manusia yaitu sebesar 96%.
Enzim merupakan polimer biologis yang memiliki peran sebagai katalisator, yaitu mengatur kecepatan berlangsungnya berbagai proses fisiologis di dalam tubuh. Enzim ini menjadi alat untuk disintegrasi agregat-agregat sel atau untuk melepaskan sel dari permukaan mikrokarier atau tempat kultivasi.

Selama ini, vaksin dipercaya sebagai sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas atau sistem kekebalan pada tubuh terhadap virus. Vaksin diberikan untuk membantu sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit.
Di dalamnya terkandung satu bagian kecil dari mikroba (bakteri atau virus) atau produk toksin yang dapat menimbulkan penyakit dan bersifat sebagai antigen (yang akan merangsang respon kekebalan tubuh)., dimana tubuh akan mengenali antigennya sehingga dapat memberikan perlawanan.
Terdapat dua jenis vaksin, yakni hidup dan mati. Untuk membuat vaksin hidup, virus hidup dilemahkan dengan melepaskan virus ke dalam tisu organ dan darah binatang, (seperti ginjal monyet dan anjing, embrio anak ayam, protein telur ayam dan bebek, serum janin sapi, otak kelinci, darah babi atau kuda dan nanah cacar sapi) beberapa kali (dengan proses bertahap) hingga kurang lebih 50 kali untuk mengurangi potensinya.

Sebagai contoh virus campak dilepaskan ke dalam embrio anak ayam, virus polio menggunakan ginjal monyet, dan virus Rubela menggunakan sel – sel diploid manusia (bagian tubuh janin yang digugurkan). Sedangkan vaksin yang mati dilemahkan dengan pemanasan, radiasi atau reaksi kimia.
Kuman yang lemah ini kemudian dikuatkan dengan Adjuvan (perangsang anti bodi) dan stabilisator (sebagai pengawet untuk mempertahankan khasiat vaksin selama disimpan). Hal ini dilakukan dengan menambah obat, antibiotik dan bahan kimia. Bahan kimia tersebut, seperti formaldehid dan thimerosal.

Untuk kasus di Indonesia, kita sering mendengar praktik vaksinasi yang dilakukan terutama pada bayi dan balita, yaitu utamanya Polio. Vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi.

Selain itu, beberapa vaksin juga diperoleh dari aborsi janin manusia yang sengaja digugurkan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A, dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetall cell line yang diaborsi, MRC-5, dan WI-38. Vaksin yang mengandung MRC-5 dan WI-38 adalah beberapa vaksin yang mengandung cell line diploid manusia.

Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan pada publik. Sel line yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi terpisah. Penamaan isolat biasanya dikaitkan dengan sumber yang diperoleh misalnya WI-38 adalah isolat yang diperoleh dari paru-paru bayi perempuan berumur 3 bulan.
Selain itu, penggunaan bahan tambahan, seperti yang disebut di atas, yaitu formaldehid dan thimerosal juga diyakini mempunyai efek jangka panjang yang justru mengkhawatirkan bagi tubuh. Formaldehid misalnya, zat yang merupakan asal muasal bagi formalin (pengawet mayat), yang menempati peringkat ke-5 dari 12 bahan kimia paling berbahaya, disinyalir dapat menyebabkan kanker. Sedangkan, thymerosal merupakan unsur ke-2 yang paling beracun kepada manusia setelah uranium, nyatanya dapat merusak otak dan sistem syaraf yang juga mengantarkan pada penyakit autoimun.

Penolakan vaksin oleh pakar kesehatan

Selain zat yang sarat kimiawi berbahaya, upaya vaksinasi juga sebenarnya mengalami penentangan dari beberapa pakar kesehatan. Dr. J. Anthony Morris—mantan Ketua Pengawas Vaksin, misalnya menyatakan bahwa terdapat banyak bukti yang menunjukkan imunisasi terhadap anak lebih banyak merugikan daripada manfaatnya.

Komentar serupa datang dari dr. R. Mendelsohn—penulis How to Raise A Healthy Child I Spite Of Your Doctor dan Profesor Pediatrik, yang menyatakan bahwa ancaman terbesar serangan penyakit anak – anak datang dari usia pencegahan yang tidak efektif dan berbahaya melalui imunisasi besar – besaran.

Bahkan komentar lebih mengejutkan hadir dari dr. James A. Shannon—Institut Kesehatan Nasional AS, yang menyimpulkan bahwa satu – satunya vaksin yang aman adalah tidak menggunakannya sama sekali.

Keraguan terhadap efektifitas vaksin juga datang dari Pakar Bedah Umum, Leonard Scheele di Konferensi AMA Amerika Serikat pada 1955, yang menyatakan bahwa tidak satupun vaksin yang telah dibuktikan keamanannya sebelum diberikan kepada anak – anak. Fakta pada 2002 juga menyebutkan bahwa seorang dari sepuluh anak – anak dan remaja AS mengalami kelemahan fisik dan mental.

Menimbang kebermanfaatan

Setelah melihat apa yang terkandung dalam vaksin, serta kejelasan mengenai kehalalannya. Dan juga cara kerja, serta keraguan akan efektifitas dalam mencegah timbulnya penyakit. Maka sudah seharusnya, kita dapat mengambil kesimpulan untuk kembali mempertimbangkan penggunaan vaksin dalam kehidupan kesehatan kita.

Karena, bukankah Allah telah mengingatkan kita untuk menghindari apa – apa yang telah ditetapkan sebagai yang haram. Oleh karena itu, permasalahan vaksin yang merupakan permasalahan usang ini, maka sudah seharusnya menjadi perhatian khusus bagi umat Islam sendiri.

Kehadiran vaksin halal tentunya bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Namun demikian, pola hidup yang sehat sebenarnya adalah utama yang dapat mencegah penyakit.

Mengenai permasalahan penyakit Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kamu bahwa setiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah tetapi jangan berobat dengan yang haram”.***

(Ichsan Kamil, dari berbagai sumber)
Sumber: Buku “Ada Apa Dengan Vaksin?” karya Odas Tsun Jhana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar